Culture Lag pada Perayaan Ekaristi Pasca Pandemi

Bisnis204 Dilihat

JurnalPost.com – Setelah kondisi dunia dan negara Indonesia sudah membaik dari pandemi Covid-19 yang terus mereda, tampak masih meninggalkan kebiasaan-kebiasaan pandemi di penerapan kehidupan kita sehari-hari sekarang ini; salah satunya adalah kebiasaan beribadah di gereja. Umat kristiani kini diharapkan dapat beradaptasi kembali dengan kebiasaan beribadah secara offline di gereja setelah sekian lama diharuskan mengikuti misa online di rumah dengan maksud mengurangi kontak fisik antar sesama. Dari fenomena pergantian masa misa online dengan kembali ke misa offline menunjukkan adanya proses perubahan sosial di tengah umat kristiani.

Datang ke gereja untuk mengikuti perayaan ekaristi sudah menjadi suatu tradisi holistik bagi para pemeluk agama kristiani. Secara tradisi perayaan ekaristi dilakukan dengan cara yang sesuai dan sama dari tahun ke tahun. Namun, dengan adanya pandemi Covid-19 memunculkan banyak halangan di berbagai kegiatan masyarakat. Kegiatan religius tidak terkecuali, salah satunya adalah misa di agama Katolik. Demi melanjutkan keberlangsungan misa setiap minggu, Gereja Katolik menghadirkan misa secara online. Diketahui bahwa perkembangan teknologi berkembang sangat cepat. Awalnya terasa aneh bagi para umat khususnya masyarakat tradisional. Kebiasaan baru ini diperkirakan akan berlangsung selama satu atau dua bulan, namun akhirnya hingga dua tahun lamanya. Masyarakat kemudian mulai terbiasa dengan budaya misa online. Ketika Pandemi Covid-19 dinyatakan berakhir, dan Gereja mulai melaksanakan misa offline seperti sebelum pandemi. kebiasaan ini menjadi sebuah masalah ketika misa kembali dilaksanakan secara offline. Masyarakat yang sudah terbiasa dengan hal ini ini kemudian memilih untuk misa secara online dibandingkan offline. Umat kristiani kini merasa bahwa “misa online sudahlah cukup”.

Hal ini disebabkan karena rasa malas yang timbul di kalangan masyarakat khususnya kalangan remaja yang sudah terbiasa melakukan misa online, dimana pada saat itu merupakan satu-satunya pilihan dalam menjalani perayaan ekaristi. Namun hal ini, didukung oleh halangan-halangan yang lainnya seperti mahalnya ongkos transportasi dan cuaca yang tidak menentu. Walaupun begitu halangan-halangan tersebut bukanlah alasan untuk tidak beribadah.

Dalam konteks permasalahan ini mengenai malasnya umat datang untuk mengikuti misa secara offline karena sudah terbiasa dan lebih nyaman dengan misa online, sebuah proses perubahan sosial terjadi pada umat kristiani. Adanya perubahan kebiasaan dan munculnya penolakan dari beberapa bagian umat. Pada dasarnya, sikap ini menunjukan adanya fenomena cultural lag diantara umat. Culture lag merupakan bentuk kemunduran dalam perubahan sosial. Sebab sebagian umat memilih untuk tidak mengikuti perubahan norma dan nilai yang terjadi setelah fenomena pandemi ini. Umat cenderung menutup diri dan sudah merasa nyaman dengan keadaan sebelumnya, yaitu lebih memilih untuk misa online di rumah atau diluar dari gereja itu sendiri dibandingkan dengan mengikuti misa secara offline di gereja. Perubahan dalam masyarakat seringkali membawa dampak. Dampak dari umat yang tidak mengikuti perkembangan sekarang yaitu menimbulkan goncangan sosial dengan cara berpikir baru, tindakan baru atau aktivitas baru, membuat sebuah hal baru. Fenomena culture lag ini dapat menyebabkan munculnya berbagai konflik, terutama konflik-konflik yang bertentangan dengan nilai tradisional. Ketertinggalan budaya mampu menyebabkan masalah bagi masyarakat dengan munculnya perbedaan di tengah umat kristiani. Perbedaan yang dimaksud adalah terjadi perpecahan sosial antar umat kristiani oleh karena fenomena culture lag—dampak dari perbedaan pendapat atau pandangan umat kristiani terhadap tradisi misa online dengan misa offline. Efek pergeseran budaya ini biasanya juga terjadi oleh karena adanya ilmu dan teknologi baru. Dalam kasus ini adanya zoom/livestream youtube yang memudahkan umat untuk melakukan misa secara online. Culture Lag dianggap sebagai masalah etika yang penting karena kegagalan untuk mengembangkan konsensus sosial yang luas tentang penggunaan teknologi modern yang tepat dapat menyebabkan runtuhnya solidaritas sosial, dan konflik sosial muncul.

Baca Juga  Venezia2023 link video twitter

Fenomena perubahan sosial di ranah umat kristiani terkait tata cara ibadah ini merupakan sebuah masalah yang harus bisa segera ditangani juga dicegah. Masalah ini perlu dicegah karena perayaan ekaristi merupakan sarana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan memperkuat iman. Perayaan ekaristi merupakan sebuah sakramen, dan sakramen diberikan kepada manusia oleh Tuhan sebagai sumber iman dan kehidupan manusia. Paus Benediktus XVI mengatakan dalam Anjuran Apostolik Sacramentum Caritatis bahwa Misa secara online tidak dapat menggantikan Misa di gereja secara nyata. “Gambaran-gambaran visual memang dapat menampilkan realitas, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh menghasilkannya”. Apakah kehadiran Tuhan tetaplah sama saat ketika melaksanakan misa secara online dibandingkan dengan misa secara offline?

Walaupun Tuhan tetap hadir di dalam misa secara online, karena masih digolongkan sebagai perkumpulan di dalam namaNya, seperti yang dikatakan-Nya: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam NamaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Matius 18:20). Disamping itu perayaan ekaristi juga merupakan sebuah santapan rohani melalui daya kuat kuasa Roh Kudus dalam rupa roti dan anggur. Ketika kita menerima komuni kudus, kita menyambut rahmat Kristus ke dalam hati kita. Menurut ajaran Katolik, perjumpaan nyata pada perayaan ekaristi dengan seorang imam, anggota Gereja, dan Komuni suci memberikan dampak dan hasil yang lebih mendalam secara spiritual. Perayaan ekaristi sejak awal mula terjadinya diciptakan dan dilakukan secara langsung di depan sebuah altar. Perayaan ekaristi online bukanlah pengganti yang sepadan dari budaya ini, namun hanya alternatif di saat ada sesuatu yang membuat perayaan ekaristi normal tidak memungkinkan.

Terlepas dari motivasi mendekatkan diri dengan Tuhan, perayaan ekaristi juga merupakan sebuah budaya di dalam Gereja Katolik yang mendekatkan hubungan di dalam sebuah masyarakat. Perjumpaan antara umat di dalam dan setelah perayaan ekaristi menghubungkan anggota-anggota masyarakat Gereja yang tidak berjumpa pada waktu sehari-hari mereka dan menciptakan sebuah kelompok sosial yang saling mendukung dan membantu satu sama lain. Maka budaya melaksanakan misa secara offline tentunya akan mempererat hubungan antar umat dalam paguyuban Gereja itu sendiri melalui pertemuan-pertemuan secara fisik.

Baca Juga  Digitalisasi Pemasaran melalui Edukasi Marketplace di Desa Dringu, Probolinggo

Perbedaan yang diciptakan oleh umat menimbulkan masalah sosial dan konflik. Ketertinggalan budaya dianggap sebagai masalah etika yang penting dan dapat menyebabkan runtuhnya solidaritas sosial. Penolakan sebagian dari masyarakat untuk bisa mengikuti budaya perayaan ekaristi offline merupakan salah satu contohnya. Bagi sebuah perubahan seperti perayaan ekaristi offline untuk bisa menjadi sebuah budaya dan norma yang diterima di dalam masyarakat seperti layaknya sebelum pandemi Covid-19. Pada dasarnya, akan sulit untuk mengatasi sebuah cultural lag dan harus ada beberapa upaya harus dilaksanakan. Maka salah satu caranya dalam mengatasi fenomena ini adalah untuk mengembalikan kesadaran umat akan tujuan awal dari ibadah. Sadarlah bahwa ibadah adalah sarana untuk menghubungkan diri dengan Tuhan, memperbaiki diri, dan mencapai kebahagiaan sejati. Kesadaran bahwa ibadah tersebut tidak bisa dilakukan dengan sempurna jika dilaksanakan secara offline dan pada saat ini hanya layak dilakukan secara offline adalah kunci untuk melewati culture lag ini. Contoh konkrit dari upaya yang dapat dilakukan adalah melalui promosi atau kampanye yang berisikan dorongan atau ajakan untuk bersama mengembalikan budaya perayaan ekaristi offline.

Ditulis oleh:
1. Gibran Giri Dhyaksa
2. Shanti Purwanti Arulanandam
3. Sebastian Satrio Winandiko

Quoted From Many Source

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *