JurnalPost.com – Pada tanggal 1 hingga 2 November 2023, ISI Surakarta mengadakan acara wayang semalam suntuk di Pendopo Ageng ISI Surakarta untuk menyambut Hari Wayang Dunia (HWD) yang jatuh pada 7 November 2023. Tanggal ini ditetapkan sebagai Hari Wayang Dunia karena adalah hari ketika wayang diresmikan sebagai warisan budaya takbenda oleh UNESCO pada tahun 2003. Tak hanya wayang kulit, ada juga pertunjukan wayang orang yang ditampilkan dalam acara ini. Acara berlangsung selama hampir sehari penuh, dimulai pukul 9.00 dan diakhiri 08.30 keesokan paginya.
Salah satu dalang yang ikut memeriahkan acara HWD adalah Ki Sukadi. Beliau menghadirkan cerita Sang Kuda Tilarsa, yang merupakan carangan (sempalan tak baku dari kisah utama) dari Mahabharata. Sepanjang acara, penonton tampak sangat menikmati pertunjukan. Berkali-kali gelak tawa tersembur karena Ki Sukadi memang menyelipkan lelucon di sana-sini. Sebuah trik yang bagus untuk pertunjukan di jam lewat tengah malam tersebut. Terbukti, tidak ada penonton yang sempat terkantuk-kantuk. Kalangan penonton pertunjukan pun beragam. Bukan hanya orang tua yang familier dengan wayang purwa, tapi banyak anak muda menunjukkan antusiasme di Pendopo Ageng saat itu. Berkali-kali pula Ki Sukadi menyelipkan lelucon mengenai budaya populer dan bahkan beliau sempat menyanyikan lagu yang sedang terkenal seperti Nemen yang dipopulerkan oleh Gilga Sahid. Sebuah gimmick yang semakin membuat pertunjukan menyatu dengan penonton dari kalangan muda.
Dalam wawancara dengan Ki Sukadi, dalang asal Sukoharjo ini menjelaskan bahwa beliau membawakan kisah Sang Kuda Tilarsa karena merupakan kritik sosial sehingga layak untuk dikisahkan di masa kini. Walau cerita yang dibawakan adalah tentang problematika yang berkesan kuno, yaitu pernikahan antar saudara yang dipaksakan oleh orang tua, namun pesan moral yang menjadi intinya tetaplah relevan. Bahwa perkataan dan permintaan orang tua tak selamanya benar, serta perbuatan orang tua dapat berdampak buruk bagi anak mereka sendiri. Bagi Ki Sukadi, wayang merupakan filosofi kehidupan itu sendiri dalam bentuk peraga, sehingga memang pesan-pesan moral wayang dapat diterapkan dalam masa manapun dan tidak ketinggalan zaman.
Ki Sukadi berpesan, bahwa dalang tak seharusnya hanya bercerita sendiri saja. Dalang harus membuat penonton ikut menikmati cerita bersamanya. Beliau juga mengatakan cara beliau mampu membuat penonton bersinergi bersamanya adalah dengan mempelajari budaya populer. Beliau sering menonton hal-hal yang sedang ramai di media sosial seperti TikTok dan Instagram, sehingga dapat memasukkan unsur budaya populer dalam budaya tradisional seperti wayang. Wayang, menurut Ki Sukadi, juga sebaiknya ditranskripkan dalam Bahasa Indonesia dan disisipkan dialek setempat (selain Jawa) agar lelucon dan dagelan yang dibawakan mampu dinikmati khalayak.
Sebagai kampus seni yang ikut melestarikan budaya tradisi, acara kebudayaan seperti HWD yang diselenggarakan oleh ISI Surakarta sangat penting untuk mengenalkan kembali budaya kepada generasi muda. Penyampaian kisah yang dilakukan Ki Sukardi sangat cocok untuk mengenalkan budaya tradisional. Selain Ki Sukadi yang kami ulas di sini, pentas wayang semalam suntuk di Pendopo Ageng ISI Surakarta ini juga menampilkan dalang-dalang mumpuni dari kota dan lain pulau, bahkan ada yang dari luar negeri. Beberapa dalang tersebut adalah Dr. Bambang Suwarno, S.Kar., M.Hum.; Muhammad Setyo Mukti Wicaksono, S.Sn; Ike Nur Kumala Sari; Achmad Rifa’i; Aneng KIswantoro, S.Sn., M.Sn.; Herjuna Pramariza Fadlansyah; Wangsit Winursito; Indra Danar Wijaya, S.Sn.; Moch. Riffky Bachtiar, S.Sn.; Pranowo Aryo Widyastoto, S.Sn; dan Wisnu Aji, dan Benczitekla (Rumania).
Penulis: Falesha Libertalea Taufik dan Muhamad Arie Kurniawan Dalimunte (ISI Surakarta)
Quoted From Many Source