Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
JurnalPost.com – Sukar dipungkiri peran yang dimainkan dan kekuatan yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama (NU) dalam pemilihan presiden mendatang. Ini bukan hanya karena NU mewakili mayoritas Muslim Indonesia, termasuk mereka yang tidak memiliki kartu anggota NU. NU krusial secara elektoral sebab ormas ini merupakan kelompok yang berpengaruh bagi pemilih di Jawa Timur. Meskipun provinsi ini merupakan medan pertempuran sengit tiga calon presiden (Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan), ketiganya dianggap tidak memiliki pijakan kuat di daerah ini. Tidak mengherankan bahwa tokoh-tokoh NU menjadi kandidat terkuat untuk wakil presiden mengingat mereka dipandang sebagai pengumpul suara tertinggi.
Anies, misalnya, telah memilih Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar. Meskipun ini adalah langkah politik yang rasional dan praktis, namun keputusan tersebut tetap mengejutkan banyak orang sebab selama ini Anies dekat dengan kelompok-kelompok Islam dengan ideologi transnasional yang kerap berseberangan dengan pandangan dunia NU. Prabowo dan Ganjar juga tengah mempertimbangkan sejumlah tokoh NU, semisal Menko Polhukam Mahfud MD, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Yenni Wahid, putri mantan presiden dan ketua NU Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, sebagai calon wakil presiden. Bukan mustahil pilpres tahun depan bisa menjadi pertandingan derbi dari tokoh-tokoh NU.
Bukan hal yang aneh bagi para politisi untuk memobilisasi sentimen ras, agama dan nasionalisme untuk mendapatkan suara. Kita harus mengakui bahwa bahwa politik identitas, menjadi favorit dan tidak harus dimaknai tidak bermoral. Terlebih lagi strategi ini digunakan untuk orang orang yang secara struktural, politik atau ekonomi terpinggirkan. Di sisi lain, sulit untuk mengabaikan pragmatisme para elit politik dalam mengeksploitasi sentimen NU, tentu untuk tujuan pilpres jangka pendek. Contoh kasus adalah bagaimana Menteri BUMN Erick Thohir diangkat sebagai anggota NU setelah bergabung dengan Banser. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno juga mendapatkan label “NU” setelah dia bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Zaman Orde Baru, PPP adalah satu-satunya jalan bagi Islam politik, termasuk NU.
Ini memang bukan hanya menyangkut NU, tetapi untuk kebutuhan demokrasi di negera kita. Saat ini NU telah menjadi organisasi utama yang konon memainkan politik identitas. Dibandingkan dengan organisasi-organisasi kaum revivalis— Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia dan kelompok-kelompok Islam terkait dengan gerakan 212—NU kini berfungsi sebagai satu-satunya instrumen politik yang dapat digunakan para elit untuk mengambil kekuasaan.
NU telah mendulang pujian tidak hanya sebagai pelopor Islam moderat tetapi juga sebagai tulang punggung demokrasi kita. Sebagai kelompok masyarakat sipil yang memperjuangkan nilai-nilai kebhinekaan dan pandangan agama yang progresif, NU sebetulnya terlalu kecil bila hanya memainkan peran sebagai alat pemilu oleh kalangan elit politik.
Ketua NU Yahya Cholil Staquf telah menegaskan bahwa NU adalah kelompok masyarakat sipil yang bekerja di luar politik partai. Ini menggembirakan, tetapi kita perlu mengingatkannya bahwa pernyataan tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan komitmen yang sudah ada. Secara historis, NU selalu menjadi bagian dari politik Indonesia, tidak hanya di akar rumput tetapi juga di tingkat elit. Pertanyaannya adalah apakah Yahya dapat menahan godaan bermain politik mengingat kekuatannya sebagai pemimpin senior NU.
Segera setelah Muhaimin menerima tawaran sebagai wakil presiden Anies, Yahya dengan cepat menyatakan bahwa tidak ada kandidat politik yang boleh mengklaim telah mewakili NU. Saudaranya, Yaqut Cholil Qoumas, yang juga merupakan Menteri Agama, meminta masyarakat untuk tidak memilih capres “pemecah belah”, sebuah pernyataan tegas terhadap Anies yang dituduh menggunakan retorika sektarian untuk memenangkan pemilihan gubernur Jakarta pada 2017.
Di permukaan, komentar seperti itu mungkin secara politis tidak berbahaya. Tapi ini menjadi masalah melihat fakta bahwa Yaqut dekat dengan Erick, calon wakil presiden potensial untuk Prabowo. Pada saat yang sama, Ganjar juga telah bertemu dengan ibu Yahya dan Yaqut sebagai bagian tur politiknya. Karenanya, banyak pihak meragukan bahwa Yahya akan melindungi NU dari segala bentuk politik predator. Apa yang dipertaruhkan tidak hanya kredibilitas NU sebagai mercusuar moralitas tetapi juga nasib demokrasi kita.
Quoted From Many Source